Kegiatan pengabdian pada masyarakat kali ini merupakan kerja sama antara Tim Abdimas Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma dengan SMK Yadika 13 Tambun, Kabupaten Bekasi. Kegiatan yang bertemakan “Pentingnya Growth Mindset pada Generasi Z” ini telah dilaksanakan pada Jumat, 10 November 2023. Dengan berlokasi di SMK Yadika 13 Tambun, Kabupaten Bekasi serta narasumber, Dr. Marcia Martha, M.Si., kegiatan ini dihadiri oleh siswa-siswi serta pengajar di SMK Yadika 13.
Dalam pemaparannya, Dr. Marcia Martha menjelaskan bahwa mindset merupakan sekumpoulan kepercayaan atau pemikiran yang membentuk bagaimana kita melihat dan merespon diri sendiri dan dunia. Mindset sendiri, terbagi menjadi dua, yakni fixed mindset dan growth mindset.
Growth Mindset
(Pola Pikir Berkembang)
Merupakan keyakinan yang mendasar bahwa pembelajaran dan kecerdasan mereka dapat tumbuh seiring waktu, upaya dan pengalaman.
Growth Mindset Dalam Konteks Pendidikan Kejuruan
“Growth Mindset adalah keyakinan bahwa kecerdasan dan kemampuan sesorang bisa dikembangkan secara tak terbatas lewat proses belajar dan usaha”
Individu yang memiliki Growth Mindset :
Memiliki keyakinan bahwa intelegensi, bakat dan sifat bukan merupakan fungsi hereditas/keturunan
Menerima tantangan dan bersungguh-sungguh menjalakannya
Tetap berpandangan ke depan dari kegagalan
Berpendapat positif terhadap usaha
Belajar dari kritikan
Menemukan pelajaran dan mendapatkan inspirasi dari kesuksesan orang lain
Fixed Mindset (Pola Pikir Tetap)
Pola pikir tetap ini didasarkan pada kepercayaan bahwa kualitas seseorang sudah ditetapkan jika seseorang memiliki sejumlah intelegensi tertentu, kepribadian tertentu dan karakter moral tertentu. Individu yang memiliki fixed mindset biasanya :
Memiliki keyakinan bahwa intelegensi, bakat, sifat adalah sebagai fungsi hereditas/keturunan
Meyakini hanya bakat saja yang mengarah pada kesuksesan
Mengganggap usaha untuk mencapai sebuah keberhasilan tidak ada gunanya
Menghindari adanya tantangan
Membentuk Growth Mindset:
Tidak Malas Belajar,
Kegagalan Bukan Akhir,
Menerima Kritik.
Melatih Berpikir Positif Dengan Growth Mindset : Berpikir positif, Mementingkan proses, Berdamai dengan diri sendiri, Berbagi dengan orang lain.
Apa yang bisa dilakukan guru untuk mengembangkan Growth Mindset :
Puji setiap usaha yang dilakukan siswa,
Bantu siswa untuk menetapkan tujuannya,
Ciptakan lingkungan pembelajaran yang aman bagi siswa untuk belajar “Say No To Bullying”.
Jadilah Guru yang memiliki : Unconditional love Guru yang patut dicontoh Guru yang dapat menciptakan kelas yang aman Guru yang menghargai setiap pemikiran siswa Guru yang dapat menyampaikan instruksi dengan jelas kepada siswa
Pengembangan Growth Mindset: Pendidikan Kejuruan:
Prinsip pengembangan growth mindset dalam pembelajaran yaitu menghadirkan tantangan kepada siswa.
Tanpa tantangan siswa tidak akan mendapat kesempatan untuk mengambil resiko dan sense of progress.
Sementara, kondisi kenyamanan tanpa adanya kesempatan mengambil resiko akan mendorong fixed mindset.
Referensi :
Claro, Susana; Paunesku, David; Dweck, Carol S. (2016). Growth mindset tempers the effects of poverty on academic achievement. Proceedings of the National Academy of Sciences, 113(31), 8664–8668. doi:10.1073/pnas.1608207113
Hochanade, A., Finamore, D. (2015). Fixed And Growth Mindset In EducationAnd How Grit Helps Students Persist In The Face Of Adversity. Journal of International Education Research, No 11 (11)
Campbell, A., Craig, T., & Reed, BC. (2019): A framework for using learning theories to inform ‘growth mindset’ activities, International Journal of Mathematical Education in Science and Technology, DOI: 10.1080/0020739X.2018.1562118
Muhibbin, M., & Wulandari, R. (2021). The Role of Grit In Indonesian Student. Psychosophia: Journal of Psychology, Religion, and Humanity, 3(2), 112-123. https://doi.org/10.32923/psc.v3i2.1725
Kegiatan pengabdian masyarakat kali ini merupakan kerja sama antara Tim Pengabdian Masyarakat Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma dengan SLB Sarana Terpadu, Jakarta Selatan. Tema yang diangkat dalam kegiatan ini adalah “Pembelajaran Digital yang Efektif bagi Anak Autis”. Dengan narasumber Dr. Wahyu Rahardjo kegiatan ini telah dilaksanakan pada Kamis, 30 November 2023 bertempat di Gedung Graha Simatupang, Jakarta Selatan.
Dr. Wahyu Rahardjo dalam pemaparannya menyatakan, bahwa penerapan teknologi pada kehidupan anak autis memiliki beberapa tujuan.
Adapun tujuan awalnya adalah mendukung penyandang autis dan keluarganya mempelajari cara mengatasi autis dengan benar, mengatasi tantangan yang ada, memperkuat kesejahteraan dan perilaku pada penyandang autis dan keluarganya sehari-hari.
Kemudian, penerapan teknologi pada kehidupan anak autis juga dapat meningkatkan kompetensi tertentu yang dimiliki anak autis serta meningkatkan ketertarikan dan motivasi siswa autis untuk belajar materi tertentu.
Dalam usaha menerapakan teknologi pada kehidupan anak autis tentunya memiliki permasalahan dasar, diantaranya adalah :
Kesiapan Institusi Merujuk pada bagaimana institusi dapat berupaya untuk menyediakan sarana dan prasarana yang dapat mendukung penerapan teknologi pada siswa autis. Hal ini tentu akan berkaitan juga dengan biaya yang akan dikeluarkan oleh institusi dalam menyediakan sarana dan prasarana penunjang.
Kesiapan Sumber Daya Manusia Sumber daya yang dimaksud disini adalah Guru. Sebelum memberika pengajaran tentang teknologi, pada siswa Autis, tentunya Guru harus terlebih dahulu paham mengenai penerapan teknologi ini. Pihak institusi dapat mebekali para guru dengan mengikutsertakan guru pada kegiatan pelatihan-pelatihan tertentu yang tentunta dapat menambah pengetahuan guru mengenai perkembangan teknologi.
Kesiapan Teknologi Ini merupakan masalah dasar selanjutnya yang tak kalah penting. Karena, untuk menerapkan penggunaan teknologi pada kehidupan anak autis, tentunya harus didukung dengan kesiapan teknologi. Kesiapan teknologi disini merujuk pada Misalnya ketersediaan jaringan internet, perangkat komputer dan lain sebagainya.
Tantangan Pembelajaran Digital Bagi Anak Autis :
Bisa menggunakan tetapi akan menemui kesulitan di beberapa area yang butuh penalaran kompleks
Potensial memunculkan kecemasan pada siswa autis
Kesulitan dalam ketangkasan manual dan menggunakan tetikus. Solusi desain: gunakan permainan dan aktivitas yang dirancang khusus untuk mengajarkan kontrol tetikus dan penggunaan keyboard.
Para siswa lebih menyukai lingkungan yang tenang dan tenteram saat melaksanakan tugasnya. Solusi desain: suara dapat disetel ke senyap untuk semua modul yang dirancang
Siswa dengan autisme merespon lebih baik terhadap informasi visual daripada hanya insformasi tekstual. Solusi desain: grafis antarmuka pengguna dirancang dengan warna-warna cerah
Siswa autis tertarik pada objek benda mati (diam) dan cenderung berfokus pada detail kecil. Solusi desain: antarmuka pengguna dirancang dengan sederhana tanpa isyarat visual yang berantakan
Siswa autis cenderung menunjukan perilaku berulang dan lebih menyukai peristiwa yang dapat di prediksi. Solusi desain: pertimbangan khusus diberikan dalam meperkenalkan konsep-konsep baru dengan kecepatan lebih lambat, permainan edukasi yang diperkenalkan dalam aplikasi ini berkembang secara berurutan.
Hal-hal yang Harus Diingat untuk Pembelajaran Digital bagi Anak Autis
Untuk pembuatan CAI dibutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak dengan kompetensi masing-masing
Perhatikan level spektrum autisme dari siswa
Gunakan pembelajaran digital yang minim opsi. Karena semakin kompleks opsi, makan akan semakin besar perjuangan dan kebingungan siswa
Fokus pada pembelajaran digital yang tujuan pembelajarannya juga sederhana
Siswa autis membutuhkan waktu pembelajaran yang lebih lama
Jika berbentuk video pemebalajaran, pastikan kalimat yang diucapkan model atau tutor harus sederhana dan jelas
Untuk kelas non inklusi, pembelajaran dapat dilakukan secara bersama-sama dalam grup.
Kondisi kelas harus terkendalikan tanpa gangguan karena siswa autis potensial mengalami disorientasi fokus saat belajar
Setelah pembelajaran dilakukan harus survei untuk mendapatkan kesan dan umpan balik siswa
Referensi :
Abduljabar, T. M. (2021). E-learning based mobile application for kids with Autism Spectrum Disorder. Tesis (tidak dipublikasikan). Altinbas University.
Adams, D., Simpson, K., Davies, L., Campbell, C., & MacDonald, L. (2019). Online learning for university students on the autism spectrum: A systematic review and questionnaire study. Australasian Journal of Educational Technology, 35(6), 111-131.
Biju, S. M., Todd, C., Tchantchane, L., & Yakoob, B. (2013). E-learning software for students with autism. Dalam T. Sobh & K. Elleithy (Eds.), Emerging trends in computing, informatics, system sciences, and engineering: Lecture notes in electrical engineering (pp. 403-410). Springer. doi: 10.1007/978-1-4614-3558-7_33
Blundell, C., Lee, K. T., & Nykvist, S. (2016). Digital learning in schools: Conceptualizing the challenges and influences on teacher practice. Journal of Information Technology Education: Research, 15, 535-560
Musaraj, J., & Muskaj, B. (2022). Technology as a learning tool: Access of austistic children to learning. International Journal of Special Education, 37(2), 129-139. https://doi.org/10.52291 /ijse.2022.37.46
Secara umum, masalah emosional dan perilaku pada anak prasekolah mulai ditemukan sejak masa anak usia dini (Richman, dalam Yuliandari, Elisabeth, Dianovinina, Yunanto dan Rasyida, 2019). Gangguan tersebut dapat terjadi karena terjadinya hambatan dalam kemampuan perkembangan anak, temperamen, dan pola pengasuhan anak. Pada anak usia dini, definisi masalah kejiwaan akan pada pandangan professional dan orangtua mengenai harapan perilaku normal apa yang seharusnya dan yang dianggap penting. Hal ini akan tergantung pada apakah orangtua/perawat kesulitan dalam mengatasi perilaku anak sehingga membuatnya mengalami distres (Yuliandari, Elisabeth, Dianovinina, Yunanto dan Rasyida, 2019).
Perlu ada penanganan agar anak mampu melalui tantangan tahapan perkembangan anak. Campbell mengungkapkan bahwa penting dalam memperhatikan perkembangan bahasa, regulasi diri, dan moral. Ia juga mengatakan agar anak tersebut tidak disalahkan jika prosesnya berbeda dengan anak lainnya karena hal ini dapat mencegah anak mencapai tahapan perkembangan yang sesuai Yuliandari, dkk 2019). Penting untuk membedakan harapan orangtua dan perilaku normal dan abnormal sesuai usia (Egeland dkk., 1990). Karena hal ini akan mempengaruhi kesehatan mental anak. Berdasarkan data Indonesia – National Adolescent Mental Health Survey (2022), diketahui bahwa :
Satu dari tiga remaja (34.9%), setara dengan 15.5 juta remaja Indonesia, memiliki satu masalah kesehatan mental dalam 12 bulan terakhir.
Satu dari dua puluh remaja (5.5%), setara dengan 2.45 juta remaja Indonesia, memiliki satu gangguan mental dalam 12 bulan terakhir.
Gangguan cemas merupakan gangguan mental yang paling banyak dialami oleh remaja.
Tidak ada perbedaan, baik berdasarkan jenis kelamin maupun usia, pada prevalensi gangguan mental secara keseluruhan. Namun, terdapat beberapa perbedaan berdasarkan jenis kelamin dan usia pada prevalensi beberapa jenis gangguan mental tertentu
Mengacu pada data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), jumlah penduduk Indonesia per 31 Desember 2022 mencapai 277,75 juta jiwa dan didominasi remaja. Paling banyak adalah penduduk berusia 10-14 tahun, yakni 24,5 juta jiwa, sedangkan penduduk di rentang usia 15-19 tahun sebanyak 21,7 juta jiwa (Arif, 2023). Jika ditotal, jumlah remaja berusia 10-19 tahun mencapai 46,2 juta jiwa. Maka, dengan persentase survei di atas jumlah remaja yang tergolong ODGJ sebanyak 2,54 juta orang dan 16,1 juta remaja tergolong ODMK. Angka ini tergolong sangat besar (Arif, 2023).
Beberapa anak memang cukup sulit mengekspresikan dirinya, baik secara emosi maupun lisan. Mereka pun cenderung ragu untuk menunjukkan bakat dan kemampuannya di lingkungan baru. Akan tetapi, sebagai Orangtua harus dapat mencari cara meningkatkan percaya diri anak dalam menunjukkan bakat dan kemampuan diri. Anak perlu memiliki pandangan positif terhadap dirinya sendiri. Hal ini akan mendorong mental anak untuk berani menghadapi dan menerima tantangan, menerima kegagalan dengan lapang dada dan tidak ragu atau takut untuk mencoba kembali. Untuk itu, orang tua perlu membangun fondasi yang kuat sehingga kepercayaan diri anak lebih kokoh saat beranjak dewasa.
Oleh karena itu, untuk mengeliminir sejumlah konflik maupun dampak buruk akibat ketidakseimbangan tersebut, maka diperlukan kegiatan psikoedukasi yang dapat membantu menurunkan beban psikologis pada orangtua selama pembelajaran jarak jauh, sehingga dapat membagi waktu dan tanggung jawab agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara fisik dan psikis dengan baik di masa pandemi ini. Kegiatan psikoedukasi ini dilaksanakan oleh Tim Abdimas Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma dalam bentuk seminar parenting yang berjudul “Menguatkan Mental dan Percaya Diri serta Memupuk Keimanan Anak ”.
Kegiatan psikoedukasi ini merupakan kerjasama antara Tim Pengabdian Masyarakat Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma dengan TKIT Nur’Ilmi Al-Furqon, yang telah dilaksanakansecara luring pada Sabtu, 11 November 2023 bertempat di TK IT Nur ‘Ilmi Al Furqon beralamat Jl. Erlangga IV No.1, RT.005/RW.007, Mustikasari, Mustika Jaya, Bekasi, Jawa Barat 17157. Kegiatan ini diihadiri oleh Pengajar, dan Wali murid
Kondisi psikologis orangtua dirumah sangat mempengaruhi diri anak yang sedang melakukan adaptasi di masa sekolah. Jika orangtua selalu menunjukan tindakan serta mental yang tidak stabil akan membuat anak-anak sulit menangkap materi pelajaran yang diberikan guru dan merasa tertekan berada dirumah. Bagaimana cara orangtua menguatkan mental dan percaya diri serta memupuk keimanan anak.
Berdasarkan analisis situasi, permasalahan utama yang dihadapi mitra adalah, orangtua dan guru perlu memiliki pengetahuan keterampilan yang dapat diterapkan pada proses belajar mengajar agar siswa mampu memperkuat mental, percaya diri serta memupuk keimanan anak. Pemberian solusi didapatkan melalui hasil analisis dan diskusi pada TKIT Nur ‘Ilmi Al Furqon Kota Bekasi, diantaranya membantu mengenalkan bagaimana agar orangtua dan guru dapat mendampingi siswa untuk belajar memahami cara untuk memperkuat mental, percaya diri serta memupuk keimanan anak.. Oleh karena itu diberikan seminar bidang psikologi dalam peningkatan dan pengembangan keterampilan orangtua dan pengajar dengan tema “MEMPERKUAT MENTAL, PERCAYA DIRI SERTA MEMUPUK KEIMANAN ANAK”.
Luaran dari kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang ditargetkan berupa seminar yang bermanfaat terkait dengan kondisi pendampingan perkembangan anak. Seminar ini memberikan pengetahuan kepada staf pengajar dan orang tua apa saja yang harus dilakukan untuk memperkuat mental, percaya diri serta memupuk keimanan pada anak.
Telah berhasil dilaksanakan Seminar Sekolah dengan topik Menguatkan Mental dan Percaya Diri serta Memupuk Keimanan Anak. Kegiatan ini dilaksanakan oleh 15 anggota tim Abdimas Fakultas Psikologi. Luaran dokumentasi kegiatan telah diunggah di akun instagram tim pengabdian masyarakat fakultas Psikologi Gunadarma https://www.instagram.com/abdimas_psi.ug/
Indonesia – National Adolescent Mental Health Survey .(2022). Laporan penelitian. Ministry of Health Republic of Indonesia
Kasih Fabiani, R. R. M., & Krisnani, H. Pentingnya peran orang tua dalam membangun kepercayaan diri seorang anak dari usia dini. Prosiding Penelitian & Pengabdian Kepada Masyarakat, 7 (1), 40-47
Kieling, C., Baker-Henningham, H., Belfer, M., Conti, G., Ertem, I., Omigbodun, O., dkk. (2011). Child and adolescent mental health worldwide: Evidence for action. Global Mental Health 2, 378, 1515- 1525
Morin, A. (2021). How to improve your child’s mental health. Diakses dari https://www.verywellfamily.com/improve-childrens-mental-health4154379 pada 7 Februari 2023.
Rahman, M., M. (2013). Peran orang tua dalam membangun kepercayaan diri pada anak usia dini. Jurnal Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, 8 (2), 373-388
Raising Children Network. (2022). Good mental health for children: 3- 8 years. Diakses dari https://raisingchildren.net.au/schoolage/health-daily-care/mental-health/children-s-mental-health pada 7 Februari 2023.
Wahyuni, S. & Purnama, S. (2021). Pengembangan Religiusitas melalui Metode Kisah Qur’ani di Taman Kanak-Kanak. Jurnal Obsesi : Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 5(1), 103-116.
Yuliandari,E., Elisabeth,M.P., Dianovinina,K., Yunanto,T.A.R., & Rasyida,A..(2019).Kesehatan mental anak dan remaja.Yogyakarta: Graha Ilmu
Salah satu upaya untuk mewujudkan pendidikan di Indonesia agar lebih baik yaitu dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Sesuai dengan standar kompetensi pedagogik staff pengajar Sekolah Dasar berdasarkan Permendiknas nomor 16 tahun 2007 tentang standar kualifikasi akademik dan kompetensi staff pengajar, salah satunya adalah staff pengajar diharapkan dapat mengembangkan atau mengoptimalkan kemampuan belajar siswa dimana mengoptimalkan kemampuan belajar siswa akan tecapai ketika siswa mengetahui bagaimana cara belajar yang baik melalui pengetahuan dan keterampilan metakognisi.
Sesuai dengan standart kompetensi tersebut, tim pengabdian masyarakat Universitas Gunadarma melakukan sebuah pelatihan kepada para guru dan staff pengajar sekolah dasar Global Islamic Labschool Depok pada hari Sabtu, 21 Januari 2023. Berdasarkan keterangan dari pihak sekolah, guru-guru perlu dibekali pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa dan pemahaman mengenai cara belajar yang sesuai dengan siswa sekolah dasar. Maka dari itu, tim ABDIMAS psikologi melakukan pendampingan diantaranya membantu mengenalkan bagaimana agar siswa belajar mengenai cara belajarnya, sehingga dapat memaksimalkan potensi belajar dengan metakognisi.
Kegiatan ini dilakukan secara hybrid, yakni di Aula gedung SD global Islamic Labschool Depok dan melalui media zoom. Pelatihan di isi oleh dua narasumber yakni dosen Universitas Gunadarma. Sesi pertama diisi oleh Dr. Ursa Majorsy yang membahas mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan metakognisi, sedangkan materi sesi kedua memfokuskan metakognisi sebagai pembelajaran bermakna yang di jelaskan oleh Dr.Quroyzhin Kartika Rini. Dalam kegiatan ini, staff pengajar tidak hanya mendengarkan isi materi saja, namun mereka juga diberi kesempatan untuk bertanya dan diberi tugas untuk mengerjakan beberapa activity seputar metakognisi agar lebih memahami materi lebih dalam.
Pelatihan ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan juga keterampilan kepada para pengajar dalam upaya memberikan pelajaran yang bermakna kepada siswa melalui metakognisi. Kami berharap dengan adanya kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini para pengajar dapat mempunyai pengetahuan dan keterampilan mengenai cara belajar yang efektif dan memiliki tujuan belajar yang jelas.